Agung
Aji Pajenengan:
Tonggak Ikon Topeng Tua
Tonggak Ikon Topeng Tua
ANDAI Anda tergelak-gelak
menyaksikan ulah tari topeng tua yang berjalan terhuyung-huyung, napas
tersengal turun naik, lalu menggaruk-garuk kepala sambil mencari kutu rambut,
maka jangan pernah lupa: itulah ikon baru yang diciptakan mpu tari bernama Anak
Agung Gede Raka, yang tenar dengan panggilan Anak Agung Aji Pajenengan. Ikon
ini kemudian diturunkan mahaguru tari kelahiran Sukawati, Gianyar, tahun 1886
ini kepada sang murid I Nyoman Kakul, asal Banjar Pakandelan, Desa Batuan,
tetangga Desa Sukawati.
Sebagai
mahaguru tari, Agung Aji Pajenengan memang tidak cuma piawai meneruskan
pakem-pakem tari kepada para muridnya. Dia juga kerap menjelajah dengan
pencariannya ke ranah-ranah baru, sehingga terciptalah kesegaran kreatif
pembaharuan seni tari Bali, namun tetap dalam akar pola dan pakem
yang kukuh tangguh. Itu menjadikan ayah sepuluh anak dari lima istri ini
sanggup melahirkan tonggak Arja Roras, tari arja yang dimainkan 12 penari
laki-laki, tahun 1929. Pada zamannya, Arja Roras ini tenar ke seantero Bali
yang kemudian memicu lahirnya arja luh pimpinan Gusti Biang Sengog. Begitu
tenarnya Arja Roras sampai-sampai acap kali penonton dibuat terkencing-kencing
di celana saat menonton Arja Roras asuhan Aji Pajenengan. Para penonton,
rupanya, tak ingin kehilangan satu patah kata pun dari dialog-dialog Arja
Roras.
Bila
kini dalam tari Baris dan Jauk di Bali dikenal gempol ulung, itulah ikon lain
ciptaan Agung Aji Pajenengan yang juga berpengaruh luas dalam seni tari Bali.
Penjelajahan kreatif memang tiada kunjung jenak memberinya kepuasan dalam
menapaki seni tari, sehingga senantiasa ada saja buah-buah kreasi baru
tersajikan, tanpa merusak pakem dasar tari asalinya.
Semangat
penjelajahan kreatif dengan pembaharuan terus-menerus itulah yang diwariskan
kepada para muridnya yang tersebar di seantero Bali dan kelak juga menjadi
mpu-mpu atawa maestro tari Bali. Selain melahirkan Kakul di Batuan, Agung Aji
Pajenengan juga menjadi guru I Ketut Rinda (Blahbatuh), I Nyoman Kakul
(Batuan), Wayan Rindi (Banjar Lebah, Badung), I Gelebag (Sukawati), di samping
pragina-pragina tenar lainnya di Klungkung, Bangli, Tabanan, hingga Buleleng.
Sang
ayah, Anak Agung Gede Agung, memang memberi perhatian istimewa pada bakat Anak
Agung Raka sejak bocah. Berada di lingkungan puri, sang ayah tentu tak ingin
alir tradisi yang menjadikan puri sebagai kantung pusat budaya itu punah. Bocah
Agung Raka pun dicarikan guru-guru pragina unggul, antara lain: Anak Agung Rai
Perit, I Dewa Ketut Belacing, dan I Made Duaja. Para maestro tari Bali inilah
menggembleng bocah Agung Raka menari Jauk, Baris, Panasar, Rangda nyalonarang,
topeng hingga menari Cupak.
Ditempa
dalam perguruan berdisiplin ketat itu tak pelak menjadikan Agung Raka alias Agung Aji Pajenengan
pun mengalirkan semangat perguruan sama kepada para muridnya. Itu sebab sang
guru ini senantiasa mengingatkan para muridnya agar menyelemani
sedalam-dalamnya watak topeng yang ditarikan. "Bila watak tapel itu belum
dapat dikuasai, tidak dipahami, lebih baik jangan menarikan tapel itu, karena
pasti gagal. Jangan main coba-coba kalau memang tidak siap
betul," Agung Aji senantiasa mengingatkan kepada para muridnya.
Penjiwaan
hingga ke kalbu spirit terdalam topeng memang persyaratan penting bagi Agung
Aji Pajenengan. Ini boleh jadi berkait rapat dengan kemahirannya menguasai
topeng secara utuh, dari hulu ke hilir: Selain menguasai tari dengan sempurna,
Agung Aji juga penakik topeng unggul. Di bidang ini dia menjadi ukuran mutu,
tapi juga simbol taksu. Orang merasa puas manakala karya takikannya sudah
dinyatakan bagus dan pantas oleh Agung Aji Pajenengan. Pemahat lain merasa
karyanya mataksu, berenergi dahsyat, setelah disentuh Aji Pajenengan.
Penguasaan
utuh hulu-hilir itulah mengantarkan sang mahaguru ini berprinsip: menarikan
topeng, tapel, sesungguhnyalah amat sulit. Lebih-lebih lagi tapel bondres,
karena wataknya sangat beragam. Saat mengenakan tapel, sang penari sejatinya
sedang memerankan watak lain, sesuai dengan guratan watak pada tapel yang
dikenakan. Itu sebab, dalam pemahaman Aji Pajenengan, menarik topeng justru
lebih sulit tinimbang menarikan paras muka sendiri. Agar bisa memukau di
pentas, sang pragina mestilah berkonsentrasi penuh. Bayu, sabda, idep, energi,
napas, dan pikiran, mesti dimanunggalkan di jiwa sang penari, sehingga
tariannya jadi berjiwa, bertenaga dahsyat, tidak hambar, tidak sekadar
menggerak-gerakkan anggota tubuh. Dengan pemanunggalan bayu, sabda, idep itulah
taksu akan terbit pada sang pragina, dan penonton pun tersedot daya pukau.
Bagi
sang guru, seorang penari di panggung sepatutnya tidak pernah meremehkan
penonton. Betapa sedikit pun manusia menonton, sang penari tetap harus menari
utuh, total, tak bisa hanya sekadar-sekadar adanya. Dalam pemahaman Agung Aji,
yang menonton tarian itu sejatinyalah tak hanya manusia di hadapan sang penari,
tapi juga adalah alam semesta ini: di mana dan kapan pun sang penari menari, di
sana pasti ada Ibu Bumi Pertiwi, Bapa Akasa Langit, ada angin, udara, yang
menyaksikan dan menikmati tarian itu. Di kala siang, ada matahari, sang sumber
mahaenergi; bila malam hari, ada pula bintang dan rembulan turut menjadi saksi
tarian sang pragina.
Andai
sang pragina menggerakkan ragawinya hanya sekadar-sekadaran, maka di sana sang
penari sejatinya telah meremehkan alam semesta yang manyaksikan tariannya. Bagi
Aji pajenengan, alam semesta inilah sejatinya pemilik sah segala tarian yang
dibawakan manusia. Dari gerak alam dan gerak isi alam itulah segenap tarian
bermuasal. Maka menari sejatinya adalah juga melakukan persembahan sekaligus
persembahyangan kepada sang Maha Pencipta alam semesta ini. Dia-lah jiwa
kekuatan mahadahsyat di balik semesta alam yang tiada henti menyajikan
tarian-tarian kosmis ini.
Kepada
Sang Maha Penari Kosmis itulah sejatinya segenap tarian mulia unggul ditujukan,
bukan kepada para manusia pelancong yang mau membayar dalam kemasan waktu serba
terbatas tergesa. Dengan begitu tarian sang manusia penari akan senantiasa
dituntun sang Maha Penari Kosmis hingga ke puncak derajat liang rasa lango,
bukan diatur-atur selera si pembayar dari liang saku.
( Sumber: Bunga Rampai Gianyar Membangun, Media Informasi Kabupaten Gianyar No: 14 Tahun II, November 1994 dan Bali Post, Minggu Wage, 27 Juli 2003)